Fakta yang disampaikan oleh salah satu Pelestari Kawasan Wilis (Perkawis) ini mengejutkan. Lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang fokus pada ...
Fakta yang disampaikan oleh salah satu Pelestari Kawasan Wilis (Perkawis) ini mengejutkan. Lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang fokus pada persoalan lingkungan itu menyodorkan fakta bahwa aksi alih fungsi lahan hutan menjadi lahan pertanian di Pegunungan Wilis kian mengkhawatirkan. Luasnya terus bertambah.
Data terbaru, versi Pelestari Kawasan Wilis, ada 25 hektare hutan yang gundul. Rata-rata lahan yang gundul itu dijadikan lahan pertanian untuk budidaya tanaman sayur.
Tentu saja fakta itu sangat mengkhawatirkan. Karena fungsi hutan bakal tereduksi bila dijadikan lahan pertanian. Ancaman yang paling mungkin terjadi adalah banjir, tanah longsor, hingga berkurangnya debit air karena pohon-pohon pengikat air tanah sudah tidak ada lagi.
Sebenarnya, sinyal ‘kemarahan’ alam itu sudah terjadi beberapa tahun terakhir. Peristiwa tanah longsor, banjir, serta kekeringan bila musim kemarau ibarat berita rutin. Hal itu terjadi setiap tahun. Terus berulang-ulang tanpa bisa kita kendalikan. Bahkan, nyawa manusia bisa menjadi taruhannya dalam berbagai kasus bencana itu.
Hal inilah yang perlu mendapat perhatian lebih besar lagi. Soal peladangan berpindah bukan lagi masalah Perhutani atau aktivitis lingkungan semata. Soal itu sudah menjadi urusan bersama. Termasuk pemerintah daerah yang warganya berada di lokasi-lokasi itu.
Kita tak bisa serta-merta menyalahkan masyarakat yang melakukan peladangan berpindah. Meskipun tindakan mereka salah dengan membakar hutan kemudian menggantinya dengan lahan pertanian. Kalau sudah terkait dengan urusan perut, masyarakat seringkali tidak lagi memikirkan baik dan buruk. Tapi lebih memikirkan kepentingan jangka pendek mereka. Kepentingan ekonomi sesaat.
Karena itulah perlu solusi komprehensif untuk mengatasi masalah ini. Tak hanya sekadar memberi larangan penebangan pohon atau pembakaran hutan saja. Tapi juga perlu dipikirkan solusi bagi warga yang melakukan hal itu.
Jika memang mereka memang butuh lahan untuk pertanian, pemerintah daerah harus ikut memikirkan. Bagaimana caranya agar kebutuhan mereka bisa terpenuhi namun tidak merusak hak anak cucu kita di masa depan.
Sebenarnya ada beberapa solusi yang sudah dilakukan oleh Perhutani selama ini. Beberapa di antaranya seperti metode penanaman tumpang sari di sela-sela hutan produksi milik Perhutani.
Hanya, apakah metode ini mampu memenuhi kebutuhan warga di sekitar hutan? Hal itu yang perlu ada kajian lebih jauh. Yang pasti, harus ada win-win solution pada masalah ini. Membuka lahan hutan untuk pertanian jelas bukan sesuatu yang dibenarkan. Namun membiarkan warga tanpa pendapatan juga bukan hal yang bijak. Karena itu, semua pihak perlu duduk satu meja. Mencari solusi yang benar-benar menguntungkan semua pihak. (*)
Penulis : adi nugroho, radar kediri